Modernis.co, Malang – Siapapun boleh berbangga hati masuk dan menjadi bagian dalam dunia Perguruan Tinggi. Sepintas tak ada yang bermasalah dengan rutinitas dunia kampus.
Ibu dan Bapak Dosen terlihat klimis berpakaian rapi menyapa dengan senyum ramah sumringah, mahasiswa dari kalangan laki-laki ataupun para nona manis yang bergincu tebal duduk berjejer santun mendengarkan nyanyian dosen yang sedang berceloteh di dalam kelas-kelas.
Di balik semua itu, kita juga tentu mengenal dan dibekali secara singkat pokok utama Tri Dharma Perguruan Tinggi yang merupakan kewajiban setiap civitas akademika dituangkan dalam pendidikan, penelitian dan pengembangan serta pengabdian masyarakat. Lalu apa yang janggal? Tanpa berniat menjatuhkan pihak manapun maka mari saya tunjukkan!
Pertama-tama saya beranggapan bahwa setiap dari kita sudah pernah membaca, mendengar atau menghafalkan isi dari preambule UUD 1945. Saya tertarik untuk menguliti isi dari mukadimah tersebut seputar mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara sederhana tujuan tersebut hanya dapat didiagnosa dan ditempuh melalui jalur pendidikan.
Sistem formal ataukah informal menjadi wilayah kita bersama untuk mewujudkannya secara total tanpa basa-basi apalagi jualan retorika belaka. Tanpa melanglang jauh ke negara Brazil tempat teoritikus Paulo Freire dilahirkan dengan gagasan pendidikan kaum tertindasnya, mari sejenak kita membuka mata lebar-lebar mencoba bersikap adil tanpa tendensi berlebihan bahwa kita adalah mahasiswa yang cukup dewasa dalam melakukan pengamatan.
Pernahkah kita merasa bahwa dosen adalah sosok sempurna dengan keilmuannya? Ataukah Dosen yang njelimet,mbulet, muter-muter, nggeremeng kala menjelaskan materi kuliah? Ataukah dosen yang mengelak kala disasar pertanyaan kritis mahasiswa? Ataukah dosen yang duduk lalu kemudian menjelaskan berslide-slide power point tanpa relevansi yang nyata?
Ataukah gaya dosen killer yang perfeksionis menekankan formalitas terikat pada kontrak belajar dengan minimal 13 kali pertemuan per semesternya? Ataukah dosen yang harus ditunggu bermenit-menit dan baru baru muncul di last minute? Ataukah dosen yang sakarepe dewe hadir dan tiadanya cukup disampaikan lewat pemberitahuan kepada ketua kelas? Kalau begini kapan dosen mencerdaskan kehidupan bangsa besar ini?
Tanpa harus ditutup-tutupi ada ribuan dosen yang kualifikasi mengajarnya patut dipertanyakan. Di banyak Perguruan Tinggi cukup banyak guru yang ngawur ketika mengajar, asal jam pelajaran selesai pertanda kewajiban telah gugur dilakukan. Saya menduga-duga bahwa ada sisi yang bermasalah dari gaya dan jurus mengajar para dosen.
Kematangan dosen dalam memberikan materi terlihat abal-abal, asal jadi, tidak terstruktur penuh dengan ucapan kalimat-kalimat tak berisi. Jika mahasiswa jeli perhatikan dengan seksama dosen yang mengajar di kelas-kelas akademik lalu lakukan sedikit analisa semantik dan ketepatan penyampaian kalimat.
Jika kemudian ditemukan ketidaksesuaian maka dapat dipastikan bahwa Dosen sedang tidak siap untuk mengajar atau bahkan otaknya pas-pasan akibat memaksa diri pada wilayah yang bukan teritorialnya.
Di banyak kesempatan perkuliahan, saya cukup banyak bertemu dengan karakter dosen yang lemah dalam penguasaan materi hal ini terlihat dari tidak konsistennya dosen dalam memberikan sebuah pernyataan, gagal meramu jawaban yang utuh, justru cenderung sempit, ngelantur, serta upaya pengalihan ke materi yang tak berkaitan sama sekali.
Sebagai anak pondok kadang kala saya pun harus gagap kala menerjemahkan maksud dari syarat menuntut ilmu seputar ihtiromul ustadz (hormat kepada guru) dan shuhbatul ustadz (dekat kepada guru). Dua hal tersebut cukup kuat diinternalisasikan di wilayah pendidikan pesantren. Dalam konteks perguruan tinggi perlakuan terhadap ustadz ataupun guru tersebut adalah penghormatan yang akbar terhadap dosen yang mengajar.
Namun realitanya tidaklah demikian, sikap berontak dari relung hati yang paling dalam tetaplah menyasar kepada dosen yang mengemudikan kelas akademik yang ugal-ugalan. Saya Pun kembali merenung dan menarik diri bahwa adilkah jika hati memberontak sementara mulut harus membuka senyum pahit sebagai penghormatan kepada dosen yang lambenya asal bunyi akibat dari otak dan mulutnya tidak terintegrasi dengan baik. Ah, entahlah!
Secara tidak langsung dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa dosen adalah intelektual yang paling berdosa dalam menjalankan misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Dosen secara tidak langsung telah memberi nutrisi dan bekal yang salah bagi generasi mendatang. Sementara Pendidikan merupakan penggerak dasar dalam menjalankan semangat pengembangan dan pengabdian masyarakat sebagai manifestasi Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Jika tidak dilakukan evaluasi besar-besaran terhadap kualifikasi dan kompetensi dosen. Maka jangan berharap akan lahir Albert Einstein baru atau Habibie baru atau Ahmad Dahlan baru. Karena kami generasi berotak pas-pasan yang cukup mudah terkagum-kagum pada modernitas yang berlapis teknologi tinggi tanpa mau memikirkan mengapa hal itu terjadi. Itu saja!
Dosen adalah pemantik semangat, pembangkit motivasi serta uswah hasanah bagi mahasiswanya. Dosen adalah Imam bagi para pengembara intelektual serta kadang menjadi dokter penyembuh bagi mahasiswa pesakitan. Dosen harus mulai berbenah memperbaiki kualitas dan kualifikasi mengajar agar mahasiswa tidak lagi dijadikan objek transfer kebodohan.
Bukankah Paulo Freire sudah melakukan pembenahan dengan menggaungkan semangat pendidikan kaum tertindas atas kaum miskin desa ataukah Ahmad Dahlan dengan konsep pendidikan purifikasi sehingga Muhammadiyah menjelma menjadi ormas perkotaan.
Dari dua tokoh tersebut dapatlah diambil sebuah mau’idatul hasanah (pelajaran berharga) bahwa pendidikan membutuhkan sosok inspiratif yang berkemajuan. Cakap dalam merealisasikan sebuah ide serta mampu memacu mahasiswa untuk dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Dosen haruslah memiliki karakter yang kuat, tidak hanya karena gaji dan privilege yang mudah didapat sehingga melupakan aspek kualifikasi dan kompetensi diri.
Jika anda wahai para dosen tidak memiliki kapabilitas, kapasitas, rendah kualifikasi, serta minim kompetensi. Kami persilahkan dengan penuh hormat anda keluar berhenti mengajari kami dari Perguruan Tinggi karena merupakan saddu dzariah (jalan penutup) untuk tujuan maslahah mursalah (kebaikan) dalam dunia pendidikan. Itu saja!
*Oleh: Adi Munazir, S.H. (Ketum Cabang IMM Malang Raya 2017-2018)